Sabtu, 23 November 2013

Apa Kabar Tesisku?

"Kita harus tetap tegar, tetap tersenyum seberat apapun tantangan yang harus dihadapi." ~Anis Matta
“Tantangan besar yang membuat kita menjadi besar." ~Anis Matta

Yahh kata-kata diatas itu membuat aku semakin dan semakin semangat dalam menghadapi setiap ujian/tantangan yang Allah beri. Memang benar seharusnya begitu, karena Allah tidak akan membiarkan kita begitu saja, apabila kita adalah orang beriman, apalagi kita menginginkan syurgaNya, sehingga Allah pasti menguji kita dengan penuh kesabaran, kesungguhan dan perjuangan dan aku yakin Allah tidak akan menguji diluar batas kesanggupan kita. Mari kawan kita buka lagi dalam surah Al-Baqarah ayat 286 Allah berfirman bahwa “La yukallifullahu nafsan illa wus'aha” artinya Allah tidak akan membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya...” Jadi kawan apapun yang terjadi kita tetep berhusnudzon sama Allah pasti dibalik peristiwa yang kita hadapi akan mengandung hikmahnya yang dapat kita petik. Semoga kita dapat menjalani semua ini dengan istiqomah. Allahuma Aamiin.

Oke. Kembali dengan judul yang saya tulis diatas. Hhhmmm. Kalau ditanya “Apa Kabar Tesisku?” jawabanya pasti adalah alhamdulillah sangat luar biasa. Allahuakbaaaaaaaaarrr. Tesis ohh tesis, sungguh panjang perjalananku untuk menulis tesis ini. Semoga akan indah pada waktunya untuk saya disegerakan lulus. Aamiin Ya Allah. Mohon doanya yahhh kawannnnnku semuaaanya...agar tesis saya lancar... lancar...dan lancarrr...Aamiin.

Beberapa hari yang lalu saya update status di twiitter saya kata-kata indah itu saya ambil dari Al-Quran Surah Al-Imran ayat 139 itu sebagai motivasi saya saja. Bahwasanya Allah telah berfirman

"Dan janganlah kamu merasa lemah, dan janganlah pula bersedih hati, sebab kamu paling tinggi derajatnya, jika kamu orang yang beriman" [QS.3:139] #LaTahzan

Ya Allah ternyata aku nggak boleh merasa lemah dan bersedih apapun yang saya jalani ini adalah kehendakMu bukan kehendak saya, saya hanya bisa berikhtiar, berdoa, dan bertawakal saja. Apapun yang terjadi saya tetep menjalani semua ini penuh kesyukuran dan kesabaran. Karena Engkau Maha Mengetahui apa yang terbaik untuk hambaNya.

Yahh itulah tesis sebuah karya ilmiah yang sebenarnya mudah akan tetapi dibalik perjalanannya pasti akan ada ujian-ujiannya, sehingga kita diminta untuk sabar dan syukur dalam menjalaninya.

Bersyukur punya dosen Pembimbing yang Baik Hati
Lagi-lagi memang setiap dalam kehidupan kita mesti dipenuhi rasa bersyukur ataupun bersabar. Alhamdulillah syukurku untuk Allah saja, terima kasih Ya Allah Engkau memberikan aku dosen yang baik hati dan hebat, walaupun beliau sangat sibuk, aktivitasnya yang cukup padat tetapi beliau selalu menyempatkan waktunya untuk saya untuk berdiskusi dan sharring. Alhamdulillah. Saya ingin rasanya mengucapkan banyak terima kasih kepada dosen pembimbing saya, beliau selalu sabar menghadapi saya sehingga saya pun belajar untuk bersabar juga, hehe..Alhamdulillah :)

Terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Ir. E. Gumbira Sa’id, MA.Dev dan Bapak Prof.Dr. Ono Suparno, S.TP, MT dosen yang penuh inspirasi buat saya dan mahasiswa yang lainnya juga. Karena beliau adalah dosen terbaik. Nahh mungkin kalian ada yang ingin kenal lebih jauh dengan dosen saya bisa buka websitenya aja ini lingknya punya Pak Egum http://dgb.ipb.ac.id/index.php/id/organisasi/anggota-dgb-ipb/fakultas-teknologi-pertanian?id=164:prof-dr-ir-endang-gumbira-said-madev sedangkan untuk website Pak Ono ini linknya http://ono.suparno.staff.ipb.ac.id/

Oyahh. Hal yang paling berkesan saat saya berdiskusi dengan beliau adalah beliau selalu menerima masukan, pendapat, dan selalu memberikan saya motivasi juga agar tetap semangat dan bersabar. Pokoknya beliau sama sekali nggak pernah marah, yang ada malah beliau murah senyum. Dan saya pun juga, hehe.

Oke, cukup sekian perjalanan kisah tesis saya, sekali lagi yang baca blog pribadi saya ini, mohon bantu saya dengan doa agar saya disegerakan untuk LULUS dan selanjutnya adalah MENIKAH dengan pilihan Allah yang terbaik dan sholeh. Aamiin. Thank YOU :) 

Bogor, 23 November 2013 
By. Alzena Valdis Rahayu








Rabu, 20 November 2013

Congretz to My Best Friend

Tepatnya hari Rabu siang, 20 November 2013 saya menghadiri moment spesial wisuda sahabat saya. Beliau adalah Patmawati dari Program Studi Teknologi Hasil Perairan dan beliau merupakan satu-satunya wisudawan terbaik dari Program Magister Sains se-IPB artinya beliau satu-satunya yang paling terbaik diantara semua program studi yang ada di IPB. Wahhh kerenn kan sahabat saya ini. Subhanallah Walhamdulillah. Oya beliau sempat curhat sama saya sebelum hari H beliau ingin rasanya keluarganya hadir dihari bahagianya dan terutama ibunya yang sedang sakit, beliau ingin kedua orangtuanya melihat atas keberhasilannya selama ini untuk keluarganya tercinta. Alhamdulillah Allah mengabulkan doanya sehingga kedua orangtuanya pun turut hadir menemani dihari bahagianya kemarin. Sempat tidak menyangka juga beliau bakal menjadi lulusan terbaik, karena ini merupakan prestasi pertamanya yang beliau alami, sebelum-sebelumnya beliau tidak pernah. Bersyukurlah sahabatku ini dengan menangis bahagia dan terharu. Oya saya pun tak akan melupakan moment bahagia ini dengan sedikit kenang-kenangan saat saya bersama sahabat saya di pesta wisudanya. Semoga moment bahagia ini sebagai penyemangat saya juga untuk segera menyusul. Aamiin. Mohon doannya yahhh kawan supaya saya disegerakan untuk lulus juga tahun ini. Aamiin Ya Robbal'alamin. Harapan itu masih ada. Thank You :)




So sweet....




Sok romantis banget dehhh gue, pegang bunga segala, mudah2an nanti ada yang beneran ngasih bunga mawar warna merah marun...insyaAllah tahun 2014 bulan Januari, aamiin :)



Fans beratnya patce manis-maniskan, terutama jilbab hitam, hihihi.. 



Apapun yg terjadi kami tetep tersenyum.....


Niiii foto bareng keluarga besar "Pondok Wahdah Indahhhh", yg lain entah kemana....jadi sedikitan dehhh




Graha Widiya Wisuda (GWW) IPB, 20 November 2013

Senin, 18 November 2013

Makna Sahabat

Bogor yang cerah dengan sinar mentari yang begitu indah dan menghangatkan tubuh, serta membawa senyuman terindah bagi semua orang yang tengah sibuk dalam aktivitasnya. Pertama syukurku atas rahmat Allah SWT karena masih diberi kesempatan untuk saya menuliskan sekelumit "Makna Sahabat". Shalawat dan salam selalu tercurahkan selau untuk manusia yang paling sempurna beliau adalah baginda Rasulullah Muhammad SAW.

Baiklah tanpa panjang lebar kali tinggi, langsung saja saya ingin berbicara tentang " Makna Sahabat". Suatu hari ada yang bertanya kepada saya tentang makna sahabat. Menurut Mbak sahabat itu apa sihhhh? kujawab dengan ramah.

Menurut saya sahabat itu seperti orang yang rela mengembalikan buku catatan yang ia pinjam meskipun harus malam harus ia kembalikan kepada pemiliknya, karena akan dipergunakan untuk ujian esok harinya. Sahabat juga yang rela membantu dan menemani saat saya penelitian menyimpan sampel dichamber (refrigerator) tengah malam untuk tugas akhir (tesis). Kemudian sahabat juga yang rela meminjamkan note booknya padahal ia juga sedang mengerjakan tugasnya yang tidak kalah penting. Sahabat juga yang selalu menasihati dengan penuh kesabaran disaat saya futur. Karena ialah orang yang menjadi jiwa raga saya yang lain, menampung beban hidup dan selalu memberi motivasi hingga saya kembali bersemangat lagi. Sahabat juga merupakan tempat saya berkeluh kesah disaat hati ini galau dan bimbang walau sebelumnya saya sudah curhat kepada Allah. Sahabat tempat saya meminta saran, pendapat, dan solusi. Pokonya sahabat itu yang selalu menerima saya apa adanya bukan ada apanya. Hehe.

Pernah nonton film Ada Apa dengan Cinta (A2dC)??? dengan tokoh utamanya Cinta yang diperankan Dian Sastro bersama gengnya yakni Alya, Mily, Karmen, dan Maura? Disitu terlihat banget sekelumit cerita persahabatan yang mereka kisahkan walaupun berbeda karakter tapi satu. Satu dalam langkah, tujuan, dan cita-cita.

Kemudian sahabat jualah yang memengaruhi perilaku kita. Kehadiran mereka disisi kita terasa atau tidak, sangat berdampak besar terhadap kehidupan kita yang kita jalani kelak. Merekalah yang membuat kita begini dan begitu. Maka dari itu kita jangan sampai salah memilih sahabat yahhh oke!!!

Persahabatan bukanlah jalinan rekayasa melainkan pertautan hati (baca: ukhuwah). Sahabat adalah jalinan yang membuat kita merasa nyaman saat disampingnya, berbagi cerita duka maupun suka. Kita bisa betul betul rileks mengungkap diri kita sebenarnya, tanpa ribet-ribet untuk jaim. Sahabat juga yang senantiasa mengingatkan jika kita lupa dan salah dan ia sabar untuk menasihatkan kita. Sahabat jugalah yang mau menemani dan menolong tanpa pamrih. Itulah makna sahabat.

Sahabat seiman ibarat mentari yang selalu menyinari…  
Sahabat  yang setia bagai pewangi mengharumkan…  
Sahabat sejati menjadi pendorong impian masa depan…  
Sahabat berhati mulia membawa kita ke jalan Allah… 

Semoga bermanfaat untuk semuanya...


Bogor, 18 November 2013 
By. Alzena Valdis Rahayu





Sabtu, 16 November 2013

Resolusi Saya yang Terbaru

Alhamdulillah tidak terasa waktu begitu cepat yahhhh, kita sudah memasuki tahun baru lagi nihh 1 Muharram 1435 Hijriyah. Bertepatan dengan tahun baru islam, saya ingin sedikit share tentang resolusi saya kedepan, tapi emang agak telat nih postinginnya, tapi nggak apa deh biar yang lain juga tahu dan menambah semangat saya juga, hehe. Dan semoga resolusi saya ini dapat tercapai dengan baik, aamiin. Mohon doanya yahhhh...

Ini resolusi saya yang terbaru ^__^
  • Lulus S2 dengan hasil yang terbaik
  • Dilamar atas pilihan Allah, karena segala sesuatunya Allah Maha Mengetahui apa yang terbaik untuk hambaNya, so saya hanya bisa berikhtiar aja, berdoa, dan bertawakal penuh sama Allah, semoga tambatan hatiku datang diwaktu yang tepat, aamiin. Sebentar lagi insyaAllah karena saya udah dapat ridho dari orangtua. Bahagianya saya. Alhamdulillah. Mohon doanya yahhh semoga lancar prosesnya dan berkah menuju pelaminan, aamiin :)
  • Kemudian mengajar disebuah perguruan tinggi baik negeri ataupun swasta dengan harapan ilmu saya ini dapat bermanfaat buat orang lain, karena Rasulullah SAW bersabda “Khairunnas anfa’uhum linnas"Sebaik-baik manusia diantaramu adalah yang paling banyak manfaatnya bagi orang lain” (HR. Bukhari dan Muslim). Percuma banget kalau punya ilmu nggak diamalin yahh kan?? maka dari itu saya ingin tetep bekerja walaupun sudah berumah tangga nanti. Tapi tetep saya pun tidak akan meninggalkan kewajiban saya sebagai istri dan ibu untuk anak-anak karena cita-cita saya adalah ingin menjadi ibu rumah tangga yang baik buat keluarga (suami dan anak-anak saya kelak). Semoga suami saya ridho dengan niat baik saya ini, aamiin.
  • Selanjutnya adalah usaha saya sukses dehhh, aamiin. Karena dari dulu saya sudah suka berbisnis kawan, semoga usaha ini tetep istiqomah menjual “Aksesoris Mutiara Lombok”. Bagi yang berminat dan tertarik sok mangga bisa add saya di Facebook “Alzena Valdis Rahayu” semoga usaha saya ini berkah, aamiin.
  • Dan masihhh banyak lagi......^^
  • Semoga resolusi saya yang diatas bisa membawa kebermanfaatan untuk diri pribadi, keluarga dan orang lain, aamiin.
Thank You....buat kalian yang sudah mampir, baca & mendoakan saya ^__^
Semoga resolusi kamu juga dapat tercapai, aamiin.

Bogor, 16 November 2013






Hujan adalah CINTA

Begitu mempesona ketika senja menyapa
Di bumi kampus hijauku
Dengan langit jingga yang begitu merona
Namun diam-diam kutatapi langitku, menjadi kelabu
Menandakan rinai akan turun membasahi kampusku
Ohhh hujan...
Hatiku sangat bersyukur hadirmu kembali di sini
Karena kau mampu membawa penuh kesejukan dalam jiwaku
Untuk menggapai semua impian dan harapanku di sini
Yahh termasuk cinta sejatiku di sini...
the rain is love

Bogor, 15 November 2013
By. Alzena Valdis Rahayu





Minggu, 10 November 2013

Mantap Berjodoh

Ada kultweet keren nihhh dari @fufuelmart buat kalian yg sdg mencari #JodohDuniaAkhirat, hehe. Simak yahhh!!!
  1. Jodoh itu cermin. Seperti apa jodoh kita? Mirip dengan kita. Dimana posisinya? Sesuai frekuensi kita. :)
  2. "Value" antara diri kita dan jodoh kita hampir sama; seperti janji Allah, bhwa wanita yg baik u/ laki2 yg baik, jg sblikny
  3. Lalu kalau ada yg baik menikah dgn yg kurg baik?Blh jd itu kan'kelihatannya'. Nilai ketakwaan sseorg hnya Allah yg tahu.
  4. Bila trjadi sprti itu,wallahulam,Allah pny rencana yg jauh lbh baik. Itu mnjadi rahasia-Nya, tgs kita berusaha yg terbaik.
  5. Nmun bgaimanapun, saat kitabrtemu jodoh kita, pastinya ia pnya rata2 nilai yg hmpir sama dgn kita.
  6. Persamaan dengan pasangan u/ saling menguatkan. Perbedaan dengannya u/ saling melengkapi.
  7. Katanya, ada perasaan "klik" yg tak bs dideskripsikan saat kita bertemu dgn jodoh kita.
  8. Samakan 'frekuensi' dengannya, Bila ingin yg baik, lingkungannya pun hrus baik2. Lingkungan dunia nyata jg dunia maya.
  9. Coba deh, gak bakal jauh2 kok, biasanya yg jadi jodoh itu di satu circle yg sama. Di situ2 jg, d frekuensi kita berada.
  10. Sambil terus proses "pemantasan diri" dilakukan, agar mendapat "cap" layak menikah dari Allah.
  11. mmg susah2 gmpang, prlu kombinasi hati+logika yg seimbang. Jgn smpai ego/nafsu yg brtindak.
  12. Tetap harus "rasional" u/tentukan "kriteria psangan dan disertai kejernihan hati u/ mmantapkan kyakinan.
  13. Pegang prinsip 3B ya, Bercermin, Berusaha dan yg utama adl Berdoa. InsyaAllah akan Allah prmudah u/ bs
  14. Intinya, bila slama prosesnya Allah prmudah, mskpun bnyk halang rintang, nmun slalu ada solusi, insyaallah itu
  15. Namun, mau diusahakan smpai berdarah2pun, bila bkn jodohnya tak akan bersatu. :)
  16. Tetap sertakan Allah slama prosesnya, dan ttp dlm koridor-Nya. Mmkai cara2 yg Allah suka.
  17. Mudah bg Allah, mmberi rasa 'yakin' dihati kita, dan mudah bagi-NYa mmberi rasa ragu bhkan tak yakin, karena Dia pnggenggam jiwa kita.
  18. maka bersabarlah dgn kesbaran yg baik, dalam proses
  19. Segera bkn berarti tergesa2, jodoh selalu tepat datang pd waktunya, dgn ikhtiar segenap jiwa raga.
  20. TErakhir, bila bertemu dan bs tetap hrus berjuang bersama, u/ bs mwujudkan :')
  21. Allah mmg tahu yg terbaik u/ diri kita, namun Allah jg menguji sberapa kita mngikhtiarkan ygterbaik bgi diri kita.
  22. Semoga Allah memeluk jiwa2 yg merindu jodohnya, dan Dia permudah untuk bisa semuanya karena Allah :')
Sekian sharetweet smoga bermanfaat :) Mohon maaf bila ada yg kurang berkenan :)



Minggu, 03 November 2013

Menjaga, Menata, lalu Bercahaya

Salman Al Farisi memang sudah waktunya menikah. Seorang wanita Anshar yang dikenalnya sebagai wanita mukminah lagi shalihah juga telah mengambil tempat di hatinya. Tentu saja bukan sebagai kekasih. Tetapi sebagai sebuah pilihan dan pilahan yang dirasa tepat. Pilihan  menurut akal sehat. Dan pilahan menurut perasaan yang halus, juga ruh yang suci.

Tapi bagaimanapun, ia merasa asing di sini. Madinah bukanlah tempat kelahirannya. Madinah bukanlah tempatnya tumbuh dewasa. Madinah memiliki adat, rasa bahasa, dan rupa-rupa yang belum begitu dikenalnya. Ia berfikir, melamar seorang gadis pribumi tentu menjadi sebuah urusan yang pelik bagi seorang pendatang. Harus ada seorang yang akrab dengan tradisi Madinah berbicara untuknya dalam khithbah. Maka disampaikannyalah gelegak hati itu kepada shahabat Anshar yang dipersaudarakan dengannya, Abud Darda’.

Subhanallaah.. wal hamdulillaah..”, girang Abud Darda’ mendengarnya. Mereka tersenyum bahagia dan berpelukan. Maka setelah persiapan dirasa cukup, beriringanlah kedua shahabat itu menuju sebuah rumah di penjuru tengah kota Madinah. Rumah dari seorang wanita yang shalihah lagi bertaqwa.

”Saya adalah Abud Darda’, dan ini adalah saudara saya Salman seorang Persia. Allah telah memuliakannya dengan Islam dan dia juga telah memuliakan Islam dengan amal dan jihadnya. Dia memiliki kedudukan yang utama di sisi Rasulullah Shallallaahu ’Alaihi wa Sallam, sampai-sampai beliau menyebutnya sebagai ahli bait-nya. Saya datang untuk mewakili saudara saya ini melamar putri Anda untuk dipersuntingnya.”, fasih Abud Darda’ bicara dalam logat Bani Najjar yang paling murni.

”Adalah kehormatan bagi kami”, ucap tuan rumah, ”Menerima anda berdua, shahabat Rasulullah yang mulia. Dan adalah kehormatan bagi keluarga ini bermenantukan seorang shahabat Rasulullah yang utama. Akan tetapi hak jawab ini sepenuhnya saya serahkan pada puteri kami.” Tuan rumah memberi isyarat ke arah hijab yang di belakangnya sang puteri menanti dengan segala debar hati.

”Maafkan kami atas keterusterangan ini”, kata suara lembut itu. Ternyata sang ibu yang bicara mewakili puterinya. ”Tetapi karena anda berdua yang datang, maka dengan mengharap ridha Allah saya menjawab bahwa puteri kami menolak pinangan Salman. Namun jika Abud Darda’ kemudian juga memiliki urusan yang sama, maka puteri kami telah menyiapkan jawaban mengiyakan.”

Jelas sudah. Keterusterangan yang mengejutkan, ironis, sekaligus indah. Sang puteri lebih tertarik kepada pengantar daripada pelamarnya! Itu mengejutkan dan ironis. Tapi saya juga mengatakan indah karena satu alasan; reaksi Salman. Bayangkan sebuah perasaan, di mana cinta dan persaudaraan bergejolak berebut tempat dalam hati. Bayangkan sebentuk malu yang membuncah dan bertemu dengan gelombang kesadaran; bahwa dia memang belum punya hak apapun atas orang yang dicintainya. Mari kita dengar ia bicara.

”Allahu Akbar!”, seru Salman, ”Semua mahar dan nafkah yang kupersiapkan ini akan aku serahkan pada Abud Darda’, dan aku akan menjadi saksi pernikahan kalian!”
♥♥♥
Tak mudah menjadi lelaki sejantan Salman. Tak mudah menjadi sahabat setulus Abud Darda’. Dan tak mudah menjadi wanita sejujur shahabiyah yang kelak kita kenal sebagai Ummud Darda’. Belajar menjadi mereka adalah proses belajar untuk menjadi orang yang benar dalam menata dan mengelola hati. Lalu merekapun bercahaya dalam pentas sejarah. Bagaimanakah kiranya?

Ijinkan saya mengenang seorang ulama yang berhasil mengintisarikan Ihya’ ‘Ulumiddin karya Imam Al Ghazali. Ustadz Sa’id Hawa namanya. Dalam bukuTazkiyatun Nafs, beliau menggambarkan pada kita proses untuk menjadi  orang yang shadiq, orang yang benar. Prosesnya ada empat, ialah sebagai berikut,
  • Shidqun Niyah artinya benar dalam niat. Benar dalam semburat pertama hasrat hati. Benar dalam mengikhlaskan diri. Benar dalam menepis syak dan riya’. Benar dalam menghapus sum’ah dan ‘ujub. Benar dalam menatap lurus ke depan tanpa mempedulikan pujian kanan dan celaan kiri. Benar dalam kejujuran pada Allah. Benar dalam persangkaan pada Allah. Benar dalam meneguhkan hati.
  • Shidqul ‘Azm artinya benar dalam tekad. Benar dalam keberanian-keberanian. Benar dalam janji-janji pada Allah dan dirinya. Benar dalam memancang target-target diri. Benar dalam pekik semangat. Benar dalam menemukan motivasi setiap kali. Benar dalam mengaktivasi potensi diri. Benar dalam memikirkan langkah-langkah pasti. Benar dalam memantapkan jiwa.
  • Shidqul Iltizam artinya benar dalam komitmen. Benar dalam menetapi rencana-rencana. Benar dalam melanggengkan semangat dan tekad. Benar dalam memegang teguh nilai-nilai. Benar dalam memaksa diri. Benar dalam bersabar atas ujian dan gangguan. Benar dalam menghadapi tantangan dan ancaman. Benar dalam mengistiqamahkan dzikir, fikir, dan ikhtiyar.
  • Shidqul ‘Amaal artinya benar dalam proses kerja. Benar dalam melakukan segalanya tanpa menabrak pagar-pagar Ilahi. Benar dalam cara. Benar dalam metode. Benar dalam langkah-langkah yang ditempuh. Benar dalam profesionalisme dan ihsannya amal. Benar dalam tiap gerak anggota badan.

Nah, mari coba kita refleksikan proses menjadi orang benar ini dalam proses menuju pernikahan. Seperti Salman. Ia kuat memelihara aturan-aturan syar’i. Dan mengharukan caranya mengelola hasrat hati. Insyaallah dengan demikian keberkahan itu semakin mendekat. Jikalau Ash Shidq berarti kebenaran dan bermakna kejujuran, maka yang pertama akan tampak sebagai gejala keberkahan adalah di saat kita jujur dan benar dalam bersikap pada Allah dan manusia.
♥♥♥

Apa kiat sederhana untuk menjaga hati menyambut sang kawan sejati? Dari pengalaman, ini jawabnya: memfokuskan diri pada persiapan. Mereka yang berbakat gagal dalam pernikahan biasanya adalah mereka yang berfokus pada “Who”. Dengan siapa. Mereka yang insyaallah bisa melalui kehidupan pernikahan yang penuh tantangan adalah mereka yang berfokus pada “Why” dan “How”. Mengapa dia menikah, dan bagaimana dia meraihnya dalam kerangka ridha Allah.
Maka jika kau ingin tahu, inilah persiapan-persiapan itu:

Persiapan Ruhiyah (Spiritual)
Ini meliputi kesiapan kita untuk mengubah sikap mental menjadi lebih bertanggung jawab, sedia berbagi, meluntur ego, dan berlapang dada. Ada penekanan juga untuk siap menggunakan dua hal dalam hidup yang nyata, yakni sabar dan syukur. Ada kesiapan untuk tunduk dan menerima segala ketentuan Allah yang mengatur hidup kita seutuhnya, lebih-lebih dalam rumahtangga.

Persiapan ‘Ilmiyah-Fikriyah (Ilmu-Intelektual)
Bersiaplah menata rumahtangga dengan pengetahuan, ilmu, dan pemahaman. Ada ilmu tentang Ad Diin. Ada ilmu tentang berkomunikasi yang ma’ruf kepada pasangan. Ada ilmu untuk menjadi orangtua yang baik (parenting). Ada ilmu tentang penataan ekonomi. Dan banyak ilmu yang lain.

Persiapan Jasadiyah (Fisik)
Jika memiliki penyakit-penyakit, apalagi berkait dengan kesehatan reproduksi, harus segera diikhtiyarkan penyembuhannya. Keputihan pada akhwat misalnya. Atau gondongan (parotitis) bagi ikhwan. Karena virus yang menyerang kelenjar parotid ini, jika tak segera diblok, bisa menyerang testis. Panu juga harus disembuhkan, he he. Perhatikan kebersihan. Yang lain, perhatikan makanan. Pokoknya harus halal, thayyib, dan teratur. Hapus kebiasaan jajan sembarangan. Tentang pakaian juga, apalagi pada bagian yang paling pribadi. Kebiasaan memakai dalaman yang terlalu ketat misalnya, berefek sangat buruk bagi kualitas sperma. Nah.

Persiapan Maaliyah (Material)
Konsep awal; tugas suami adalah menafkahi, BUKAN mencari nafkah. Nah, bekerja itu keutamaan & penegasan kepemimpinan suami. Persiapan finansial #Nikah sama sekali TIDAK bicara tentang berapa banyak uang, rumah, & kendaraan yang harus kita punya. Persiapan finansial bicara tentang kapabilitas menghasilkan nafkah, wujudnya upaya untuk itu, & kemampuan mengelola sejumlah apapun ia.

Maka memulai per nikahan, BUKAN soal apa kita sudah punya tabungan, rumah, & kendaraan. Ia soal kompetensi & kehendak baik menafkahi. Adalah ‘Ali ibn Abi Thalib memulai pernikahannya bukan dari nol, melainkan minus: rumah, perabot, dan lain-lain dari sumbangan kawan dihitung hutang oleh Nabi. Tetapi ‘Ali menunjukkan diri sebagai calon suami kompeten; dia mandiri, siap bekerja jadi kuli air dengan upah segenggam kurma.

Maka sesudah kompetensi & kehendak menafkahi yang wujud dalam aksi bekerja -apapun ia-, iman menuntun: pernikahan itu jalan Allah membuka kekayaan (QS 24: 32). Buatlah proyeksi nafkah rumahtangga secara ilmiah & executable. JANGAN masukkan pertolongan Allah dalam hitungan, tapi siaplah dengan kejutanNya.

Kemapanan itu tidak abadi. Saat belum mapan masing-masing pasangan bisa belajar untuk menghadapi lapang maupun sempitnya kehidupan. Bahkan ketidakmapanan yang disikapi positif menurut penelitian Linda J. Waite, signifikan memperkuat ikatan cinta. Ketidakmapanan yang dinamis menurut penelitian Karolinska Institute Swedia, menguatkan jantung dan meningkatkan angka harapan hidup.

Persiapan Ijtima’iyyah (Sosial)
Artinya, siap untuk bermasyarakat, faham bagaimana bertetangga, mengerti bagaimana bersosialisasi dan mengambil peran di tengah masyarakat. Juga tak kalah penting, memiliki visi dan misi da’wah di lingkungannya.

Nah, ini semua adalah persiapan. Artinya sesuatu yang kita kerjakan dalam proses yang tak berhenti. Seberapa banyak dari persiapan di atas yang harus dicapai sebelum menikah? Ukurannya menjadi sangat relatif. Karena, bahkan proses persiapan hakikatnya adalah juga proses perbaikan diri yang kita lakukan sepanjang waktu. Setelah menikah pun, kita tetap harus terus mengasah apa-apa yang kita sebut sebagai persiapan menikah itu. Lalu, kapan kita menikah?

Ya. Memang harus ada parameter yang jelas. Apa? Rasulullah ternyata hanya menyebut satu parameter di dalam hadits berikut ini. Satu saja. Coba perhatikan.

“Wahai sekalian pemuda, barangsiapa di antara kalian telah bermampu BA’AH, maka hendaklah ia menikah, karena pernikahan lebih dapat menundukkan pandangan dan menjaga kehormatan farj. Dan barangsiapa belum mampu, hendaklah ia berpuasa, sungguh puasa itu benteng baginya.” (HR Al Bukhari dan Muslim)

Hanya ada satu parameter saja. Apa itu? Ya, ba’ah. Apa itu ba’ah? Sebagian ‘ulama berbeda pendapat tetapi menyepakati satu hal. Makna ba’ah yang utama adalah kemampuan biologis, kemampuan berjima’. Adapun makna tambahannya, menurut Imam Asy Syaukani adalah al mahru wan nafaqah, mahar dan nafkah. Sedang menurut ‘ulama lain adalh penyediaan tempat tinggal. Tetapi, makna utamalah yang ditekankan yakni kemampuan jima’.

Maka, kita dapati generasi awal ummat ini menikahkan putra-putri mereka di usia muda. Bahkan sejak mengalami ihtilam (mimpi basah) pertama kali. Sehingga, kata Ustadz Darlis Fajar, di masa Imam Malik, Asy Syafi’i, Ahmad, tidak ada kenakalan remaja. Lihatlah sekarang, kata beliau, ulama-ulama besar dan tokoh-tokoh menyejarah menikah di usia belasan. Yusuf Al Qaradlawi menikah di usia belasan, ‘Ali Ath Thanthawi juga begitu. Beliau lalu mengutip hasil sebuah riset baru di Timur Tengah, bahwa penyebab banyaknya kerusakan moral di tengah masyarakat adalah banyaknya bujangan dan lajang di tengah masyarakat itu.

Nah. Selesai sudah. Seberapa pun persiapan, sesedikit apapun bekal, anda sudah dituntut menikah kalau sudah ba’ah. Maka persiapan utama adalah komitmen. Komitmen untuk menjadikan pernikahan sebagai perbaikan diri terus menerus. Saya ingin menegaskan, sesudah kebenaran dan kejujuran, gejala awal dari barakah adalah mempermudah proses dan tidak mempersulit diri, apalagi mempersulit orang lain. Sudah berani melangkah sekarang? Apakah anda masih perlu sebuah jaminan lagi? Baik, Allah akan memberikannya, Allah akan menggaransinya:

“Ada tiga golongan yang wajib bagi Allah menolong mereka. Pertama, budak mukatab yang ingin melunasi dirinya agar bisa merdeka. Dua, orang yang menikah demi menjaga kesucian dirinya dari ma’shiat. Dan ketiga, para mujahid di jalan Allah.” (HR At Tirmidzi, An Nasa’i, dan Ibnu Majah)

Pernah di sebuha milis, saya juga menyentil sebuah logika kecil yang pernah disampaikan seorang kawan lalu saya modifikasi sedikit. Apa itu? Tentang bahwa menikah itu membuka pintu rizqi. Jadi logikanya begini. Jatah rizqi kita itu sudah ada, sudah pasti sekian-sekian. Kita diberi pilihan-pilihan oleh Allah untuk mengambilnya dari jalan manapun. Tetapi, ia bisa terhalang oleh beberapa hal semisal malas, gengsi, dan ma’shiat.

Kata ‘Umar ibn Al Khaththab, pemuda yang tidak berkeinginan segera menikah itu kemungkinannya dua. Kalau tidak banyak ma’shiatnya, pasti diragukan kejantanannya. Nah, kebanyakan insyaallah jantan. Cuma ada ma’shiat. Ini saja sudah menghalangi rizqi. Belum lagi gengsi dan pilih-pilih pekerjaan yang kita alami sebelum menikah. Malu, gengsi, pilih-pilih.

Tapi begitu menikah, anda mendapat tuntutan tanggungjawab untuk menafkahi. Bagi yang berakal sehat, tanggungjawab ini akan menghapus gengsi dan pilih-pilih itu. Ada kenekatan yang bertanggungjwab ditambah berkurangnya ma’shiat karena di sisi sudah ada isteri yang Allah halalkan. Apalagi, kalau memperbanyak istighfar. Rizqi akan datang bertubi-tubi. Seperti kata Nabi Nuh ini,

“Maka aku katakan kepada mereka: “Beristighfarlah kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun. Niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.” (Nuh 10-12)

Pernah membayangkan punya perkebunan yang dialiri sungai-sungai pribadi? Banyaklah beristighfar, dan segeralah menikah, insyaallah barakah. Nah, saya sudah menyampaikan. Sekali lagi, gejala awal dari barakahnya sebuah pernikahan adalah kejujuran ruh, terjaganya proses dalam bingkai syaria’t, dan memudahkan diri. Ingat kata kuncinya; jujur, syar’i, mudah. Saya sudah menyampaikan,Allaahummasyhad! Ya Allah saksikanlah! Jika masih ada ragu menyisa, pertanyaan Nabi Nuh di ayat selanjutnya amat relevan ditelunjukkan ke arah wajah kita.

“Mengapa kamu tidak percaya akan kebesaran Allah?” (Nuh 13)

Begitulah. Selamat menyambut kawan sejati, sepenuh cinta. 







Kisah Cinta Ali bin Abi Thalib dan Fathimah Az-Zahra

Ada rahasia terdalam di hati Ali yang tak dikisahkannya pada siapapun. Fathimah. Karib kecilnya, puteri tersayang dari Sang Nabi yang adalah sepupunya itu, sungguh memesonanya. Kesantunannya, ibadahnya, kecekatan kerjanya, parasnya. Lihatlah gadis itu pada suatu hari ketika ayahnya pulang dengan luka memercik darah dan kepala yang dilumur isi perut unta. Ia bersihkan hati-hati, ia seka dengan penuh cinta. Ia bakar perca, ia tempelkan ke luka untuk menghentikan darah ayahnya.
Semuanya dilakukan dengan mata gerimis dan hati menangis. Muhammad ibn ‘Abdullah Sang Tepercaya tak layak diperlakukan demikian oleh kaumnya! Maka gadis cilik itu bangkit. Gagah ia berjalan menuju Ka’bah. Di sana, para pemuka Quraisy yang semula saling tertawa membanggakan tindakannya pada Sang Nabi tiba-tiba dicekam diam. Fathimah menghardik mereka dan seolah waktu berhenti, tak memberi mulut-mulut jalang itu kesempatan untuk menimpali. Mengagumkan!Ali tak tahu apakah rasa itu bisa disebut cinta. Tapi, ia memang tersentak ketika suatu hari mendengar kabar yang mengejutkan. Fathimah dilamar seorang lelaki yang paling akrab dan paling dekat kedudukannya dengan Sang Nabi. Lelaki yang membela Islam dengan harta dan jiwa sejak awal-awal risalah. Lelaki yang iman dan akhlaqnya tak diragukan; Abu Bakr Ash Shiddiq, Radhiyallaahu ’Anhu”Allah mengujiku rupanya”, begitu batin ’Ali.

Ia merasa diuji karena merasa apalah ia dibanding Abu Bakar. Kedudukan di sisi Nabi? Abu Bakar lebih utama, mungkin justru karena ia bukan kerabat dekat Nabi seperti ‘Ali, namun keimanan dan pembelaannya pada Allah dan RasulNya tak tertandingi. Lihatlah bagaimana Abu Bakar menjadi kawan perjalanan Nabi dalam hijrah sementara ‘Ali bertugas menggantikan beliau untuk menanti maut di ranjangnya.

Lihatlah juga bagaimana Abu Bakr berda’wah. Lihatlah berapa banyak tokoh bangsawan dan saudagar Makkah yang masuk Islam karena sentuhan Abu Bakar; ‘Utsman, ‘Abdurrahman ibn ‘Auf, Thalhah, Zubair, Sa’d ibn Abi Waqqash, Mush’ab.. Ini yang tak mungkin dilakukan kanak-kanak kurang pergaulan seperti ‘Ali.
Lihatlah berapa banyak budak Muslim yang dibebaskan dan para faqir yang dibela Abu Bakar; Bilal, Khabbab, keluarga Yassir, ‘Abdullah ibn Mas’ud.. Dan siapa budak yang dibebaskan ‘Ali? Dari sisi finansial, Abu Bakar sang saudagar, insya Allah lebih bisa membahagiakan Fathimah.
‘Ali hanya pemuda miskin dari keluarga miskin. “Inilah persaudaraan dan cinta”, gumam ‘Ali.
“Aku mengutamakan Abu Bakar atas diriku, aku mengutamakan kebahagiaan Fathimah atas cintaku.”
Cinta tak pernah meminta untuk menanti. Ia mengambil kesempatan atau mempersilakan. Ia adalah keberanian, atau pengorbanan
Beberapa waktu berlalu, ternyata Allah menumbuhkan kembali tunas harap di hatinya yang sempat layu.
Lamaran Abu Bakr ditolak. Dan ’Ali terus menjaga semangatnya untuk mempersiapkan diri. Ah, ujian itu rupanya belum berakhir. Setelah Abu Bakr mundur, datanglah melamar Fathimah seorang laki-laki lain yang gagah dan perkasa, seorang lelaki yang sejak masuk Islamnya membuat kaum Muslimin berani tegak mengangkat muka, seorang laki-laki yang membuat syaithan berlari takut dan musuh- musuh Allah bertekuk lutut.
‘Umar ibn Al Khaththab. Ya, Al Faruq, sang pemisah kebenaran dan kebathilan itu juga datang melamar Fathimah. ‘Umar memang masuk Islam belakangan, sekitar 3 tahun setelah ‘Ali dan Abu Bakar. Tapi siapa yang menyangsikan ketulusannya? Siapa yang menyangsikan kecerdasannya untuk mengejar pemahaman? Siapa yang menyangsikan semua pembelaan dahsyat yang hanya ‘Umar dan Hamzah yang mampu memberikannya pada kaum muslimin? Dan lebih dari itu, ‘Ali mendengar sendiri betapa seringnya Nabi berkata, “Aku datang bersama Abu Bakar dan ‘Umar, aku keluar bersama Abu Bakr dan ‘Umar, aku masuk bersama Abu Bakr dan ‘Umar..”
Betapa tinggi kedudukannya di sisi Rasul, di sisi ayah Fathimah. Lalu coba bandingkan bagaimana dia berhijrah dan bagaimana ‘Umar melakukannya. ‘Ali menyusul sang Nabi dengan sembunyi-sembunyi, dalam kejaran musuh yang frustasi karena tak menemukan beliau Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam. Maka ia hanya berani berjalan di kelam malam. Selebihnya, di siang hari dia mencari bayang-bayang gundukan bukit pasir. Menanti dan bersembunyi.
‘Umar telah berangkat sebelumnya. Ia thawaf tujuh kali, lalu naik ke atas Ka’bah. “Wahai Quraisy”, katanya. “Hari ini putera Al Khaththab akan berhijrah. Barangsiapa yang ingin isterinya menjanda, anaknya menjadi yatim, atau ibunya berkabung tanpa henti, silakan hadang ‘Umar di balik bukit ini!” ‘Umar adalah lelaki pemberani. ‘Ali, sekali lagi sadar. Dinilai dari semua segi dalam pandangan orang banyak, dia pemuda yang belum siap menikah. Apalagi menikahi Fathimah binti Rasulillah! Tidak. ‘Umar jauh lebih layak. Dan ‘Ali ridha.

Cinta tak pernah meminta untuk menanti
Ia mengambil kesempatan
Itulah keberanian
Atau mempersilakan
Yang ini pengorbanan


Maka ‘Ali bingung ketika kabar itu meruyak. Lamaran ‘Umar juga ditolak.
Menantu macam apa kiranya yang dikehendaki Nabi? Yang seperti ‘Utsman sang miliarderkah yang telah menikahi Ruqayyah binti Rasulillah? Yang seperti Abul ’Ash ibn Rabi’kah, saudagar Quraisy itu, suami Zainab binti Rasulillah? Ah, dua menantu Rasulullah itu sungguh membuatnya hilang kepercayaan diri.
Di antara Muhajirin hanya ‘Abdurrahman ibn ‘Auf yang setara dengan mereka. Atau justru Nabi ingin mengambil menantu dari Anshar untuk mengeratkan kekerabatan dengan mereka? Sa’d ibn Mu’adz kah, sang pemimpin Aus yang tampan dan elegan itu? Atau Sa’d ibn ‘Ubaidah, pemimpin Khazraj yang lincah penuh semangat itu?
“Mengapa bukan engkau yang mencoba kawan?”, kalimat teman-teman Ansharnya itu membangunkan lamunan. “Mengapa engkau tak mencoba melamar Fathimah? Aku punya firasat, engkaulah yang ditunggu-tunggu Baginda Nabi.. “
“Aku?”, tanyanya tak yakin.
“Ya. Engkau wahai saudaraku!”
“Aku hanya pemuda miskin. Apa yang bisa kuandalkan?”
“Kami di belakangmu, kawan! Semoga Allah menolongmu!”
‘Ali pun menghadap Sang Nabi. Maka dengan memberanikan diri, disampaikannya keinginannya untuk menikahi Fathimah. Ya, menikahi. Ia tahu, secara ekonomi tak ada yang menjanjikan pada dirinya. Hanya ada satu set baju besi di sana ditambah persediaan tepung kasar untuk makannya. Tapi meminta waktu dua atau tiga tahun untuk bersiap-siap? Itu memalukan! Meminta Fathimah menantikannya di batas waktu hingga ia siap? Itu sangat kekanakan. Usianya telah berkepala dua sekarang.
“Engkau pemuda sejati wahai ‘Ali!”, begitu nuraninya mengingatkan. Pemuda yang siap bertanggungjawab atas cintanya. Pemuda yang siap memikul resiko atas pilihan- pilihannya. Pemuda yang yakin bahwa Allah Maha Kaya. Lamarannya berjawab, “Ahlan wa sahlan!” Kata itu meluncur tenang bersama senyum Sang Nabi.
Dan ia pun bingung. Apa maksudnya? Ucapan selamat datang itu sulit untuk bisa dikatakan sebagai isyarat penerimaan atau penolakan. Ah, mungkin Nabi pun bingung untuk menjawab. Mungkin tidak sekarang. Tapi ia siap ditolak. Itu resiko. Dan kejelasan jauh lebih ringan daripada menanggung beban tanya yang tak kunjung berjawab. Apalagi menyimpannya dalam hati sebagai bahtera tanpa pelabuhan. Ah, itu menyakitkan.
“Bagaimana jawab Nabi kawan? Bagaimana lamaranmu?”
“Entahlah..”
“Apa maksudmu?”
“Menurut kalian apakah ‘Ahlan wa Sahlan’ berarti sebuah jawaban!”
“Dasar tolol! Tolol!”, kata mereka,
“Eh, maaf kawan.. Maksud kami satu saja sudah cukup dan kau mendapatkan dua! Ahlan saja sudah berarti ya. Sahlan juga. Dan kau mendapatkan Ahlan wa Sahlan kawan! Dua-duanya berarti ya !”
Dan ‘Ali pun menikahi Fathimah. Dengan menggadaikan baju besinya. Dengan rumah yang semula ingin disumbangkan ke kawan-kawannya tapi Nabi berkeras agar ia membayar cicilannya. Itu hutang.
Dengan keberanian untuk mengorbankan cintanya bagi Abu Bakr, ‘Umar, dan Fathimah. Dengan keberanian untuk menikah. Sekarang. Bukan janji-janji dan nanti-nanti.
‘Ali adalah gentleman sejati. Tidak heran kalau pemuda Arab memiliki yel, “Laa fatan illa ‘Aliyyan! Tak ada pemuda kecuali Ali!” Inilah jalan cinta para pejuang. Jalan yang mempertemukan cinta dan semua perasaan dengan tanggung jawab. Dan di sini, cinta tak pernah meminta untuk menanti. Seperti ‘Ali. Ia mempersilakan. Atau mengambil kesempatan. Yang pertama adalah pengorbanan. Yang kedua adalah keberanian.
Dan ternyata tak kurang juga yang dilakukan oleh Putri Sang Nabi, dalam suatu riwayat dikisahkan bahwa suatu hari (setelah mereka menikah) Fathimah berkata kepada ‘Ali, “Maafkan aku, karena sebelum menikah denganmu. Aku pernah satu kali jatuh cinta pada seorang pemuda”
‘Ali terkejut dan berkata, “kalau begitu mengapa engkau mau manikah denganku? dan Siapakah pemuda itu?”
Sambil tersenyum Fathimah berkata, “Ya, karena pemuda itu adalah Dirimu” ini merupakan sisi ROMANTIS dari hubungan mereka berdua.
Kemudian Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla memerintahkan aku untuk menikahkan Fatimah puteri Khadijah dengan Ali bin Abi Thalib, maka saksikanlah sesungguhnya aku telah menikahkannya dengan maskawin empat ratus Fidhdhah (dalam nilai perak), dan Ali ridha (menerima) mahar tersebut.”
Kemudian Rasulullah saw. mendoakan keduanya:

“Semoga Allah mengumpulkan kesempurnaan kalian berdua, membahagiakan kesungguhan kalian berdua, memberkahi kalian berdua, dan mengeluarkan dari kalian berdua kebajikan yang banyak.” (kitab Ar-Riyadh An-Nadhrah 2:183, bab4)