Salman Al Farisi memang sudah waktunya
menikah. Seorang wanita Anshar yang dikenalnya sebagai wanita mukminah lagi
shalihah juga telah mengambil tempat di hatinya. Tentu saja bukan sebagai
kekasih. Tetapi sebagai sebuah pilihan dan pilahan yang dirasa tepat.
Pilihan menurut akal sehat. Dan pilahan menurut perasaan yang halus, juga
ruh yang suci.
Tapi bagaimanapun, ia merasa asing di
sini. Madinah bukanlah tempat kelahirannya. Madinah bukanlah tempatnya tumbuh
dewasa. Madinah memiliki adat, rasa bahasa, dan rupa-rupa yang belum begitu
dikenalnya. Ia berfikir, melamar seorang gadis pribumi tentu menjadi sebuah
urusan yang pelik bagi seorang pendatang. Harus ada seorang yang akrab dengan
tradisi Madinah berbicara untuknya dalam khithbah. Maka disampaikannyalah
gelegak hati itu kepada shahabat Anshar yang dipersaudarakan dengannya, Abud
Darda’.
”Subhanallaah.. wal hamdulillaah..”,
girang Abud Darda’ mendengarnya. Mereka tersenyum bahagia dan berpelukan. Maka
setelah persiapan dirasa cukup, beriringanlah kedua shahabat itu menuju sebuah
rumah di penjuru tengah kota Madinah. Rumah dari seorang wanita yang shalihah
lagi bertaqwa.
”Saya adalah Abud Darda’, dan ini adalah
saudara saya Salman seorang Persia. Allah telah memuliakannya dengan Islam dan
dia juga telah memuliakan Islam dengan amal dan jihadnya. Dia memiliki
kedudukan yang utama di sisi Rasulullah Shallallaahu ’Alaihi wa Sallam,
sampai-sampai beliau menyebutnya sebagai ahli bait-nya. Saya datang untuk
mewakili saudara saya ini melamar putri Anda untuk dipersuntingnya.”, fasih
Abud Darda’ bicara dalam logat Bani Najjar yang paling murni.
”Adalah kehormatan bagi kami”, ucap tuan
rumah, ”Menerima anda berdua, shahabat Rasulullah yang mulia. Dan adalah
kehormatan bagi keluarga ini bermenantukan seorang shahabat Rasulullah yang
utama. Akan tetapi hak jawab ini sepenuhnya saya serahkan pada puteri kami.”
Tuan rumah memberi isyarat ke arah hijab yang di belakangnya sang puteri
menanti dengan segala debar hati.
”Maafkan kami atas keterusterangan ini”,
kata suara lembut itu. Ternyata sang ibu yang bicara mewakili puterinya.
”Tetapi karena anda berdua yang datang, maka dengan mengharap ridha Allah saya
menjawab bahwa puteri kami menolak pinangan Salman. Namun jika Abud Darda’
kemudian juga memiliki urusan yang sama, maka puteri kami telah menyiapkan
jawaban mengiyakan.”
Jelas sudah. Keterusterangan yang
mengejutkan, ironis, sekaligus indah. Sang puteri lebih tertarik kepada
pengantar daripada pelamarnya! Itu mengejutkan dan ironis. Tapi saya juga
mengatakan indah karena satu alasan; reaksi Salman. Bayangkan sebuah perasaan,
di mana cinta dan persaudaraan bergejolak berebut tempat dalam hati. Bayangkan
sebentuk malu yang membuncah dan bertemu dengan gelombang kesadaran; bahwa dia
memang belum punya hak apapun atas orang yang dicintainya. Mari kita dengar ia
bicara.
”Allahu Akbar!”, seru Salman, ”Semua mahar
dan nafkah yang kupersiapkan ini akan aku serahkan pada Abud Darda’, dan aku
akan menjadi saksi pernikahan kalian!”
♥♥♥
Tak mudah menjadi lelaki sejantan Salman.
Tak mudah menjadi sahabat setulus Abud Darda’. Dan tak mudah menjadi wanita
sejujur shahabiyah yang kelak kita kenal sebagai Ummud Darda’. Belajar menjadi
mereka adalah proses belajar untuk menjadi orang yang benar dalam menata dan
mengelola hati. Lalu merekapun bercahaya dalam pentas sejarah. Bagaimanakah
kiranya?
Ijinkan saya mengenang seorang ulama yang
berhasil mengintisarikan Ihya’ ‘Ulumiddin karya Imam Al
Ghazali. Ustadz Sa’id Hawa namanya. Dalam bukuTazkiyatun Nafs, beliau
menggambarkan pada kita proses untuk menjadi orang yang shadiq, orang
yang benar. Prosesnya ada empat, ialah sebagai berikut,
- Shidqun
Niyah artinya benar dalam niat. Benar dalam semburat pertama hasrat hati.
Benar dalam mengikhlaskan diri. Benar dalam menepis syak dan riya’. Benar
dalam menghapus sum’ah dan ‘ujub. Benar dalam menatap lurus ke depan tanpa
mempedulikan pujian kanan dan celaan kiri. Benar dalam kejujuran pada
Allah. Benar dalam persangkaan pada Allah. Benar dalam meneguhkan hati.
- Shidqul
‘Azm artinya benar dalam tekad. Benar dalam keberanian-keberanian. Benar
dalam janji-janji pada Allah dan dirinya. Benar dalam memancang
target-target diri. Benar dalam pekik semangat. Benar dalam menemukan
motivasi setiap kali. Benar dalam mengaktivasi potensi diri. Benar dalam
memikirkan langkah-langkah pasti. Benar dalam memantapkan jiwa.
- Shidqul
Iltizam artinya benar dalam komitmen. Benar dalam menetapi rencana-rencana.
Benar dalam melanggengkan semangat dan tekad. Benar dalam memegang teguh
nilai-nilai. Benar dalam memaksa diri. Benar dalam bersabar atas ujian dan
gangguan. Benar dalam menghadapi tantangan dan ancaman. Benar dalam
mengistiqamahkan dzikir, fikir, dan ikhtiyar.
- Shidqul
‘Amaal artinya benar dalam proses kerja. Benar dalam melakukan segalanya tanpa
menabrak pagar-pagar Ilahi. Benar dalam cara. Benar dalam metode. Benar
dalam langkah-langkah yang ditempuh. Benar dalam profesionalisme dan
ihsannya amal. Benar dalam tiap gerak anggota badan.
Nah, mari coba kita refleksikan proses
menjadi orang benar ini dalam proses menuju pernikahan. Seperti Salman. Ia kuat
memelihara aturan-aturan syar’i. Dan mengharukan caranya mengelola hasrat hati.
Insyaallah dengan demikian keberkahan itu semakin mendekat. Jikalau Ash
Shidq berarti kebenaran dan bermakna kejujuran, maka yang pertama akan
tampak sebagai gejala keberkahan adalah di saat kita jujur dan benar dalam
bersikap pada Allah dan manusia.
♥♥♥
Apa kiat sederhana untuk menjaga hati
menyambut sang kawan sejati? Dari pengalaman, ini jawabnya: memfokuskan diri
pada persiapan. Mereka yang berbakat gagal dalam pernikahan biasanya adalah
mereka yang berfokus pada “Who”. Dengan siapa. Mereka yang insyaallah bisa
melalui kehidupan pernikahan yang penuh tantangan adalah mereka yang berfokus
pada “Why” dan “How”. Mengapa dia menikah, dan bagaimana dia meraihnya dalam
kerangka ridha Allah.
Maka jika kau ingin tahu, inilah
persiapan-persiapan itu:
Persiapan Ruhiyah (Spiritual)
Ini meliputi kesiapan kita untuk mengubah
sikap mental menjadi lebih bertanggung jawab, sedia berbagi, meluntur ego, dan
berlapang dada. Ada penekanan juga untuk siap menggunakan dua hal dalam hidup
yang nyata, yakni sabar dan syukur. Ada kesiapan untuk tunduk dan menerima
segala ketentuan Allah yang mengatur hidup kita seutuhnya, lebih-lebih dalam
rumahtangga.
Persiapan ‘Ilmiyah-Fikriyah
(Ilmu-Intelektual)
Bersiaplah menata rumahtangga dengan
pengetahuan, ilmu, dan pemahaman. Ada ilmu tentang Ad Diin. Ada
ilmu tentang berkomunikasi yang ma’ruf kepada pasangan. Ada ilmu untuk menjadi
orangtua yang baik (parenting). Ada ilmu tentang penataan ekonomi. Dan banyak
ilmu yang lain.
Persiapan Jasadiyah (Fisik)
Jika memiliki penyakit-penyakit, apalagi
berkait dengan kesehatan reproduksi, harus segera diikhtiyarkan penyembuhannya.
Keputihan pada akhwat misalnya. Atau gondongan (parotitis) bagi ikhwan. Karena
virus yang menyerang kelenjar parotid ini, jika tak segera diblok, bisa
menyerang testis. Panu juga harus disembuhkan, he he. Perhatikan kebersihan.
Yang lain, perhatikan makanan. Pokoknya harus halal, thayyib, dan teratur.
Hapus kebiasaan jajan sembarangan. Tentang pakaian juga, apalagi pada bagian
yang paling pribadi. Kebiasaan memakai dalaman yang terlalu ketat misalnya,
berefek sangat buruk bagi kualitas sperma. Nah.
Persiapan Maaliyah (Material)
Konsep awal; tugas suami adalah menafkahi,
BUKAN mencari nafkah. Nah, bekerja itu keutamaan & penegasan kepemimpinan
suami. Persiapan finansial #Nikah sama sekali TIDAK bicara tentang berapa
banyak uang, rumah, & kendaraan yang harus kita punya. Persiapan finansial
bicara tentang kapabilitas menghasilkan nafkah, wujudnya upaya untuk itu, &
kemampuan mengelola sejumlah apapun ia.
Maka memulai per nikahan, BUKAN soal apa
kita sudah punya tabungan, rumah, & kendaraan. Ia soal kompetensi &
kehendak baik menafkahi. Adalah ‘Ali ibn Abi Thalib memulai pernikahannya bukan
dari nol, melainkan minus: rumah, perabot, dan lain-lain dari sumbangan kawan
dihitung hutang oleh Nabi. Tetapi ‘Ali menunjukkan diri sebagai calon suami
kompeten; dia mandiri, siap bekerja jadi kuli air dengan upah segenggam kurma.
Maka sesudah kompetensi & kehendak
menafkahi yang wujud dalam aksi bekerja -apapun ia-, iman menuntun: pernikahan
itu jalan Allah membuka kekayaan (QS 24: 32). Buatlah proyeksi nafkah
rumahtangga secara ilmiah & executable. JANGAN masukkan pertolongan Allah
dalam hitungan, tapi siaplah dengan kejutanNya.
Kemapanan itu tidak abadi. Saat belum
mapan masing-masing pasangan bisa belajar untuk menghadapi lapang maupun
sempitnya kehidupan. Bahkan ketidakmapanan yang disikapi positif menurut
penelitian Linda J. Waite, signifikan memperkuat ikatan cinta. Ketidakmapanan
yang dinamis menurut penelitian Karolinska Institute Swedia, menguatkan jantung
dan meningkatkan angka harapan hidup.
Persiapan Ijtima’iyyah (Sosial)
Artinya, siap untuk bermasyarakat, faham
bagaimana bertetangga, mengerti bagaimana bersosialisasi dan mengambil peran di
tengah masyarakat. Juga tak kalah penting, memiliki visi dan misi da’wah di
lingkungannya.
Nah, ini semua adalah persiapan. Artinya
sesuatu yang kita kerjakan dalam proses yang tak berhenti. Seberapa banyak dari
persiapan di atas yang harus dicapai sebelum menikah? Ukurannya menjadi sangat
relatif. Karena, bahkan proses persiapan hakikatnya adalah juga proses
perbaikan diri yang kita lakukan sepanjang waktu. Setelah menikah pun, kita
tetap harus terus mengasah apa-apa yang kita sebut sebagai persiapan menikah
itu. Lalu, kapan kita menikah?
Ya. Memang harus ada parameter yang jelas.
Apa? Rasulullah ternyata hanya menyebut satu parameter di dalam hadits berikut
ini. Satu saja. Coba perhatikan.
“Wahai sekalian pemuda, barangsiapa di antara
kalian telah bermampu BA’AH, maka hendaklah ia
menikah, karena pernikahan lebih dapat menundukkan pandangan dan menjaga
kehormatan farj. Dan barangsiapa belum mampu, hendaklah ia berpuasa, sungguh
puasa itu benteng baginya.” (HR Al Bukhari dan Muslim)
Hanya ada satu parameter saja. Apa itu?
Ya, ba’ah. Apa itu ba’ah? Sebagian ‘ulama berbeda
pendapat tetapi menyepakati satu hal. Makna ba’ah yang utama adalah kemampuan
biologis, kemampuan berjima’. Adapun makna tambahannya, menurut Imam Asy
Syaukani adalah al mahru wan nafaqah, mahar dan nafkah. Sedang
menurut ‘ulama lain adalh penyediaan tempat tinggal. Tetapi, makna utamalah
yang ditekankan yakni kemampuan jima’.
Maka, kita dapati generasi awal ummat ini
menikahkan putra-putri mereka di usia muda. Bahkan sejak mengalami ihtilam (mimpi
basah) pertama kali. Sehingga, kata Ustadz Darlis Fajar, di masa Imam Malik,
Asy Syafi’i, Ahmad, tidak ada kenakalan remaja. Lihatlah sekarang, kata beliau,
ulama-ulama besar dan tokoh-tokoh menyejarah menikah di usia belasan. Yusuf Al
Qaradlawi menikah di usia belasan, ‘Ali Ath Thanthawi juga begitu. Beliau lalu
mengutip hasil sebuah riset baru di Timur Tengah, bahwa penyebab banyaknya
kerusakan moral di tengah masyarakat adalah banyaknya bujangan dan lajang di
tengah masyarakat itu.
Nah. Selesai sudah. Seberapa pun
persiapan, sesedikit apapun bekal, anda sudah dituntut menikah kalau sudah
ba’ah. Maka persiapan utama adalah komitmen. Komitmen untuk menjadikan
pernikahan sebagai perbaikan diri terus menerus. Saya ingin menegaskan, sesudah
kebenaran dan kejujuran, gejala awal dari barakah adalah mempermudah proses dan
tidak mempersulit diri, apalagi mempersulit orang lain. Sudah berani melangkah
sekarang? Apakah anda masih perlu sebuah jaminan lagi? Baik, Allah akan
memberikannya, Allah akan menggaransinya:
“Ada tiga golongan yang wajib bagi Allah
menolong mereka. Pertama, budak mukatab yang ingin melunasi dirinya agar bisa
merdeka. Dua, orang yang menikah demi menjaga kesucian dirinya dari ma’shiat.
Dan ketiga, para mujahid di jalan Allah.” (HR At Tirmidzi, An Nasa’i,
dan Ibnu Majah)
Pernah di sebuha milis, saya juga
menyentil sebuah logika kecil yang pernah disampaikan seorang kawan lalu saya
modifikasi sedikit. Apa itu? Tentang bahwa menikah itu membuka pintu rizqi.
Jadi logikanya begini. Jatah rizqi kita itu sudah ada, sudah pasti
sekian-sekian. Kita diberi pilihan-pilihan oleh Allah untuk mengambilnya dari
jalan manapun. Tetapi, ia bisa terhalang oleh beberapa hal semisal malas,
gengsi, dan ma’shiat.
Kata ‘Umar ibn Al Khaththab, pemuda yang tidak
berkeinginan segera menikah itu kemungkinannya dua. Kalau tidak banyak
ma’shiatnya, pasti diragukan kejantanannya. Nah, kebanyakan insyaallah jantan.
Cuma ada ma’shiat. Ini saja sudah menghalangi rizqi. Belum lagi gengsi dan
pilih-pilih pekerjaan yang kita alami sebelum menikah. Malu, gengsi,
pilih-pilih.
Tapi begitu menikah, anda mendapat
tuntutan tanggungjawab untuk menafkahi. Bagi yang berakal sehat, tanggungjawab
ini akan menghapus gengsi dan pilih-pilih itu. Ada kenekatan yang
bertanggungjwab ditambah berkurangnya ma’shiat karena di sisi sudah ada isteri
yang Allah halalkan. Apalagi, kalau memperbanyak istighfar. Rizqi akan datang
bertubi-tubi. Seperti kata Nabi Nuh ini,
“Maka aku katakan kepada mereka:
“Beristighfarlah kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun.
Niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan
harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula
di dalamnya) untukmu sungai-sungai.” (Nuh 10-12)
Pernah membayangkan punya perkebunan yang
dialiri sungai-sungai pribadi? Banyaklah beristighfar, dan segeralah menikah,
insyaallah barakah. Nah, saya sudah menyampaikan. Sekali lagi, gejala awal dari
barakahnya sebuah pernikahan adalah kejujuran ruh, terjaganya proses dalam
bingkai syaria’t, dan memudahkan diri. Ingat kata kuncinya; jujur,
syar’i, mudah. Saya sudah menyampaikan,Allaahummasyhad! Ya Allah
saksikanlah! Jika masih ada ragu menyisa, pertanyaan Nabi Nuh di ayat
selanjutnya amat relevan ditelunjukkan ke arah wajah kita.
“Mengapa kamu tidak percaya akan kebesaran
Allah?” (Nuh 13)
Begitulah. Selamat menyambut kawan sejati,
sepenuh cinta.