Saat
mendengarkan kajian rubrik rumah tangga dari seorang ustadz yang di Bogor
disalah satu stasiun radio FM Bogor mengenai Panggilan istri dan suami ketika
berumah tangga, ternyata banyak dari kawan saya yang sudah menikah masih belum
paham tentang panggilan seorang istri kepada suaminya, dan suaminya kepada
istrinya karena bahwasanya seorang yang sudah menikah itu tidak boleh memanggil
dengan sebutan layaknya seperti seorang anak memanggil kepada kedua
orangtuanya. Misalnya untuk seorang suami memanggil istrinya dengan sebutan
Ummi, atau sebaliknya istri memanggil suaminya dengan sebutan Abi. Hal ini
tidak diperbolehkan karena istrinya itu bukan orang tua suami yang telah
melahirkannya tapi dia adalah seorang istri yang dinikahi, begitupun penjelasan
sebaliknya bahwa suaminya bukan orang tua laki-laki istrinya tapi suaminya yang
menjadi imam keluarganya.
Selain itu, kalau bisa hindari juga panggilan ini
kawan! suami memanggil istrinya dengan sebutan seperti layaknya seorang kakak
dan adik, kadang saya pernah dengar dari seorang kawan saya yang sudah menikah,
si suaminya memanggil istri panggilan Ade, dan istrinya memanggil
suaminya dengan sebutan Kaka. Lucu deh yahh jadinya kaya Kaka dan Ade. Kalau
kata ustadz sehhhh jika ada panggilan sayang antara suami istri itu yang
diperbolehkan atau memanggil namanya juga tidak apa-apa (tapi kalo panggil nama
sepertinya biasa aja yah kawan, nggak spesial gitu, hihi).
Sedangkan untuk panggilan Ummi dan Abi sendiri, atau
ada juga yang memanggil Mamah dan Papah, Ibu dan Ayah, dan lain-lain kalau
kondisinya untuk mengajarkan/mencontohkan kepada anaknya kata ustadz tidak
apa-apa, dengan panggilan seperti itu, agar anak juga mengerti tentang
panggilan/ sebutan untuk keduaorangtuanya tersebut.
Beberapa fatwa ulama “Syaikhul Islam Ahmad bin
Taimiyah ditanya tentang seorang laki-laki yang berkata kepada istrinya, “Kamu
bagiku bagaikan ibuku atau saudari perempuanku (Ukhty)”? Beliau
menjawab, “Kalau maksudnya adalah “Kamu bagiku bagaikan ibu atau
saudariku dalam hal penghormatan” maka tidak ada apa-apa atas dirinya
(tidak ada masalah). Tapi kalau maksudnya adalah menyamakan istrinya itu dengan
ibu atau saudarinya dalam hal pernikahan maka itu adalah zihar dan berlakulah
hukum zihar kepadanya dan kalau dia tidak juga mencerai istrinya itu maka dia
tidak boleh menggaulinya sebelum membayar kaffarah zihar.”
Dalam surah Al-Mujadilah (ayat 1-4) yang didalamnya
terdapat pembahasan tentang zihar dan bahwa itu adalah ucapan dusta serta
berdosa, dan bagi yang sudah mengucapkannya dia harus membayar kaffarah berupa
pembebasan budak mukmin, atau berpuasa dua bulan, atau memberi makan 60 orang
miskin.
Wallahu'alam. Nanti coba cari lagi
yahh kawan penjelasan tentang ini. Mohon maaf jika ada yang kurang sempurna
dari penjelasan ini. Semoga bermanfaat, khususnya yang sudah menikah ^_^
Bogor,
10 Maret 2013
Catatan Alzena Valdis Rahayu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar