Masalah pernikahan mendapat perhatian yang sangat khusus
dalam ajaran Islam. Sebelum menikah, seorang Muslimah dianjurkan untuk
memperhatikan kriteria dan kualitas calon suami yang akan menjadi pendamping
hidupnya hingga akhir hayat.
Umar
bin Khatthab RA seperti dikutip dalam kitab Makarim al-Akhlaq, mengajarkan kaum
Muslimah agar memperhatikan kriteria laki-laki calon suaminya. Menurut Umar,
kriteria laki-laki secara umum terbagi ke dalam tiga golongan.
Pertama,
laki-laki yang menjaga diri, lemah lembut, cepat berpikir, dan memiliki
keputusan yang tepat. Kedua, laki-laki yang ketika dihadapkan pada satu
persoalan akan pergi pada orang yang ahli untuk meminta nasihat dan masukan.
Dan ketiga, laki-laki yang selalu bingung, tidak pintar, dan enggan
mendengarkan pendapat orang lain.
Tidak
semua Muslimah mendapatkan jodoh terbaik seperti dijelaskan Umar pada kriteria
pertama. Karenanya, para ulama menjelaskan prinsip-prinsip utama menentukan
calon suami sebelum mengarungi bahtera rumah tangga. Suatu ketika Imam Hasan
bin Ali ditanya oleh seseorang, Saya mempunyai seorang anak gadis. Menurut
tuan, dengan siapakah sebaiknya ia saya nikahkan?
Nikahkanlah
dengan laki-laki yang bertakwa kepada Allah, jawab Imam Hasan. Kalau laki-laki
itu mencintai anakmu, ia akan memuliakannya, dan kalau tidak mencintainya, ia
tidak akan menganiayanya, imbuh Imam Hasan.
Apa
yang dikatakan oleh Imam Hasan itu merupakan pedoman bagi seorang wali dan
seorang gadis untuk memilih calon suami yang tepat. Bahwa seorang suami
haruslah sosok yang beriman kepada Allah SWT dan berakhlak mulia.
Di
samping itu, para ulama juga menguraikan konsep kufu'. Umumnya, kufu' diartikan
kesepadanan antara suami dan istri, baik status sosialnya, nasabnya, hartanya,
ilmunya, dan imannya. Akan tetapi sekelompok ulama berpandangan, unsur kufu'
yang terpenting adalah iman dan akhlak; bukan nasab, harta, dan lainnya.
Hal
itu didasarkan pada firman Allah, Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan
kamu dari seorang laki-laki dan perempuan, dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa
dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling
mulia di antara kamu adalah orang yang paling bertakwa di antara kamu. (QS
al-Hujurat [49]: 13).
Ayat
itu menegaskan persamaan semua manusia. Tidak seorang pun yang lebih mulia dari
yang lain kecuali karena ketakwaannya. Itu ditunjukkan dengan menjalankan
kewajiban-kewajibannya kepada Allah dan kepada sesama manusia.
Dengan
demikian, kata Ibrahim Muhammad al-Jamal dalam Fiqh al-Mar'ah al-Muslimah,
laki-laki yang saleh, sekalipun ia bukan dari keturunan orang terpandang, boleh
dipilih sebagai calon suami. Begitu pula dengan laki-laki miskin. Ia boleh
dipilih sebagai calon suami, sejauh ia pandai memelihara diri dari
perbuatan-perbuatan keji.
Sebaliknya,
jika laki-laki itu tidak teguh menjalankan agamanya, ia tak pantas dijadikan
suami oleh Muslimah yang taat. Ibnu Rusyd, dalam kitabnya Bidayatul Mujtahid,
mengatakan, Tidak ada perbedaan pendapat dalam Mazhab Maliki, bahwa jika ada
gadis yang dipaksa orangtuanya untuk menikah dengan laki-laki pemabuk atau
fasik, maka ia berhak menolak. Begitu pula jika ia akan dinikahkan dengan
laki-laki yang hartanya diperoleh dengan cara-cara yang haram.
Pendapat
Ibnu Rusyd itu diperkuat dengan kenyataan bahwa orang pemabuk cenderung
kehilangan akal sehat dalam bertindak. Sehingga, sangat mungkin ia akan
melakukan tindakan-tindakan kekerasan yang membahayakan keselamatan sang istri.
Lantas,
bagaimanakah jika seorang Muslimah baru mengetahui kerusakan moral suaminya
setelah menikah? Menurut Mazhab Hanafi, sang istri boleh mengadukan suaminya
yang rusak moralnya kepada hakim. Jika si suami dipandang telah bertindak
keterlaluan karena membahayakan si istri, maka hakim dapat memberikan hukuman
yang setimpal, sebagai sarana pendidikan bagi si suami agar memperbaiki
perilakunya. Meski demikian, menurut mazhab ini, si istri tetap belum boleh
meminta cerai.
Sedangkan,
menurut Mazhab Maliki, bila seorang istri mendapatkan perlakuan kasar dari
suaminya hingga membahayakan keselamatannya, ia boleh mengadu ke hakim dan
meminta cerai. Tetapi hakim boleh mengabulkan permintaan itu, hanya jika ia
melihat si istri tidak mungkin bisa hidup lebih baik selama dalam ikatan
perkawinan tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar