Ahad
siang menjelang senja hujan pun membasahi tempat tinggalku. Saat itu saya
diminta untuk menggantikan Mba Yana yang sedang sakit untuk mengisi liqo
angkatan 48. Saya cukup bingung materi yang akan saya sampaikan nanti apa
yahhh. Masalahnya saya pun belum ada persiapan sama sekali hiks.hiks. Akhirnya
saya mengingat-ingat kembali artikel yang telah saya baca. Dan saya putuskan
untuk memilih artikel bagus itu untuk dijadikan bahan materi liqo kemarin siang
tentang “Bergegaslah dalam Kebaikan”. Jujur saja ini mengingatkan saya sendiri
bahwasanya untuk berbuat baik itu janganlah ditunda-tunda. Mungkin ada diantara
kita yang masih menunda-nundanya. Mari kawan kita renungkan sejenak bahwasanya
Allah telah berfirman dalam surah Al Baqarah ayat 148.
“Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia
menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah kamu (dalam berbuat) kebaikan.
Di mana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari
kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu” (Al Baqarah ayat
148).
Nah
di dalam ayat ini Allah memerintahkan kita untuk fastabiqul khahiraat yang
mana maksudnya adalah untuk bersegeralah dalam berbuat baik. Imam An Nawawi
dalam kitabnya Riyadhush shalihiin meletakkan bab khusus dengan judul: Babul
mubaadarah ilal khairaat wa hatstsu man tawajjaha likhairin ‘alal iqbaali ‘alaihi
bil jiddi min ghairi taraddud (Bab bersegera dalam melakukan kebaikan, dan
dorongan bagi orang-orang yang ingin berbuat baik agar segera melakukannya
dengan penuh kesungguhan tanpa ragu sedikitpun). Lalu ayat yang pertama kali
disebutkan sebagai dalil adalah ayat di atas. Perhatikan betapa Imam An Nawawi
telah memahami ayat tersebut sebegai berikut:
Pertama, bahwa melakukan kebaikan adalah hal yang
tidak bisa ditunda, melainkan harus segera dikerjakan. Sebab kesempatan hidup
sangat terbatas. Kematian bisa saja datang secara tiba-tiba tanpa diketahui
sebabnya. Karena itu semasih ada kehidupan, segeralah berbuat baik. Lebih dari
itu bahwa kesempatan berbuat baik belum tentu setiap saat kita dapatkan.
Karenanya begitu ada kesempatan untuk kebaikan, jangan ditunda-tunda lagi,
tetapi segera dikerjakan. Karena itu Allah swt. dalam Al Qur’an selalu
menggunakan istilah bersegeralah, seperti fastabiquu atau wa saari’uu
yang maksudnya sama, bergegas dengan segera, jangan ditunda-tunda lagi untuk
berbuat baik atau memohon ampunan Allah swt. Dalam hadist Rasulullah saw. Juga
menggunakan istilah baadiruu maksudnya sama, tidak jauh dari bersegera
dan bergegas.
Dalam
sebuah buku tentang kisah orang-orang saleh terdahulu diceritakan salah seorang
dari mereka berpesan: maa ahbabta ayyakuuna ma’aka fil aakhirat if’alhul
yaum. Wamaa karihta ayyakuuna ma’aka fil aakhirat utrukul yaum (apa yang
kau suka untuk dibawa ke akhirat kerjakan sekarang juga. Dan apa yang kau suka
untuk kau tidak suka untuk di bawa ke akhirat tinggalkan sekarang juga). Ini
menggambarkan sebuah sikap kesigapan dalam memilah dan memilih perbuatan mana
yang baik dan mana yang buruk. Tentu secara fitrah tidak ada manusia yang suka
membawa dosa-dosa ke akhirat, kecuali orang-orang yang sudah mati hatinya.
Karena itu makna fastabiquu pada ayat di atas memang benar-benar sangat
penting -kalau tidak mau dikatakan sebuah keniscayaan- untuk selalu kita
amalkan.
Kedua, bahwa untuk berbuat baik hendaknya selalu
saling mendorong dan saling tolong menolang. Imam An Nawawi mengatakan: wa
hatstsu man tawajjaha likhairin ‘alal iqabaal ‘alaihi. Ini menunjukkan
bahwa kita harus membangun lingkungan yang baik. Lingkungan yang membuat kita
terdorong untuk kebaikan. Karena itu dalam hadits yang menceritakan seorang
pembunuh seratus orang lalu ia ingin bertaubat, disebutkan bahwa untuk mencapai
tujuan taubat tersebut disyaratkan akan ia meninggalkan lingkungannya yang
buruk. Sebab tidak sedikit memang seorang yang tadinya baik menjadi rusak
karena lingkungan. Karena itu Imam An Nawawi menggunakan al hatstsu yang
artinya saling mendukung dan memotivasi. Sebab dari lingkungan yang saling
mendukung kebaikan akan tercipta kebiasaan berbuat baik secara istiqamah.
Lebih
dalam jika kita renungkan makna ayat fastabiquu kita akan menemukan
makna bahwa di mana kita memang harus menciptakan lingkungan. Sebab dalam kata
tersebut terkandung makna “berlombalah”. Dalam perlombaan tidak mungkin
sendirian, melainkan harus lebih dari satu atau lebih. Maka jika semua orang
berlomba dalam kebaikan, otomatis akan tercipta lingkungan yang baik. Karena
dalam ayat yang lain Allah swt. berfirman dalam surah Ali Imran,133: wasaari’uu
ilaa maghfiratin mirrabbikum di sini Allah swt. menggunakan kalimat wa
saari’uu diambil dari kata saa ra’a- yusaa ri’u maksudnya tidak
sendirian, melainkan ada orang lain yang juga ikut bergegas. Seperti dhaaraba-yudhaaribu
artinya saling memukul. Dalam makna ini tergambar keharusan adanya
lingkungan di mana sejumlah orang saling bergegas untuk berbuat baik. Bagitu
juga dalam surah Al Hadid, 21, Allah berfirman: saabiquu ilaa maghfiratin
mirr rabbikum, kata saabiquu mengandung makna saling berlombalah.
Suatu indikasi bahwa menciptakan lingkungan yang baik adalah sebuah
keniscayaan.
Langkah
awal untuk menciptakan lingkungan yang baik ini adalah dengan memulai dari diri
sendiri dan keluarga. Allah swt. berfirman: quu anfusakum wa ahliikum naaraa.
Perhatikan dalam ayat ini, Allah swt hanya focus kepada diri sendisi dan
keluarga dan tidak melebar kepada masyarakat luas dan Negara. Mengapa? Sebab
inilah jalan terbaik dan praktis untuk memperbaiki sebuah bangsa. Kita harus
memulai dari diri sendiri dan keluarga. Sebuah bangsa apapun hebatnya secara
teknologi, tidak akan pernah bisa tegak dengan kokoh bila pribadi dan keluarga
yang ada di lamanya sangat rapuh.
Ketiga, bahwa kesigapan melakukan kebaikan harus
didukung dengan kesungguhan yang dalam. Imam An Nawawi mengatakan: bil jiddi
min ghairi taraddud . Kalimat ini menunjukkan bahwa tidak mungkin kebaikan
dicapai oleh seseorang yang setengah hati dalam mengerjakannya. Rasulullah saw.
bersabda: baadiruu fil a’maali fitanan ka qitha’il lailill mudzlim,
yushbihur rajulu mu’minan wa yumsii kaafiran, ,wa yumsii mu’minan wa yushbihu
kaafiran, yabi’u diinahu bi ‘aradhin minad dunyaa (HR. Muslim). Dalam
hadits ini Rasulullah saw. mendorong agar segera beramal sebelum datangnya
fitnah, di mana ketika fitnah itu tiba, seseorang tidak akan pernah bisa
berbuat baik. Sebab boleh jadi pada saat itu seseorang dipagi harinya masih
beriman, tetapi pada sore harinya tiba-tiba menjadi kafir. Atau sebaliknya pada
sore harinya masih beriman tetapi pada pagi harinya tiba-tiba menjadi kafir.
Agama pada hari itu benar-benar tidak ada harganya, mereka menjual agama hanya
dengan sepeser dunia.
Uqbah
bin Harits ra. pernah suatu hari bercerita: “Aku shalat Ashar di Madinah di
belakang Rasulullah saw. kok tiba-tiba selesai shalat Rasulullah segera keluar
melangkahi barisan shaf para sahabat dan menuju kamar salah seorang istrinya.
Para sahabat kaget melihat tergesa-gesanya Rasulullah. Lalu Rasulullah keluar,
dan kaget ketika melihat para sahabatnya memandangnya penuh keheranan.
Rasulullah saw. lalu bersabda: Aku teringat ada sekeping emas dalam kamar, dan
aku tidak suka kalau emas tersebut masih bersamaku. Maka aku segera perintahkan
untuk dibagikan kepada yang berhak (HR. Bukhari).
Dalam
perang Uhud, kesigapan untuk berbuat baik seperti yang dicontohkan Rasulullah
barusan, nampak sekali di tengah sahabat-sahabatnya. Jabir bin Abdillah
meriwayatkan bahwa pernah salah seorang bertanya kepada Rasulullah saw.: Wahai
Rasul, apa yang akan aku dapatkan jika aku terbunuh dalam peperangan ini?
Rasulullah menjawab: Kau pasti dapat surga. Seketika orang tersebut melepaskan
kurma yang masih di tangannya, lalu berangkat ke tengah medan tempur dengan
tanpa ragu, lalu ia berperang sampai terbunuh. (HR. Bukhari-Muslim).
Subhanallah, sebuah kenyataan dalam sejarah, di mana umat Islam harus memiliki
kwalitas seperti ini.
Mudah-mudahan
kita dapat mengimplemtasikan dalam keseharian kita untuk bersegera melakukan
amal kebaikan karena memang waktu yang ada ini sangat terbatas jadi janganlah
kita untuk menunda-nuda dalam kebaikan. Wallahu a’lam bishshawab.