Istilah
pangan sebagai soal hidup dan mati tidaklah istilah baru karena Presiden pertama Republik Indonesia Soekarno pernah mengatakan bahwa “pertanian adalah soal hidup mati bangsa”.
Penggalan kalimat tersebut memiliki sarat makna dan ketegasan, bahwa pertanian adalah
penentu hidup matinya bangsa. Seakan tersimpan pesan di dalamnya, Jika
pertaniannya diunggulkan,
niscaya bangsa kita hidup
sejahtera, namun jika pertaniannya dianaktirikan, maka sampai kapan pun, bangsa
kita hanya akan
menyandang predikat negara berkembang dan terlunta-lunta masalah pangannya.
Sebagaimana kita tengok hari ini,
paradigma pembangunan pertanian kebanyakan hanya sebatas wacana. Bagaimana
tidak, bangsa yang hampir 45% rakyatnya hidup dari dunia pertanian ini seakan
kesulitan memberi makan rakyatnya sendiri. Impor beras sebagai pangan primadona
rakyat setiap tahun menjadi kebijakan pilihan. Kesejahteraan petani seolah
tergadaikan, setiap
masa tanam tiba, harga pupuk yang secara kebijakan bersubsidi malah tetap mahal
karena kurang pengawasan. Belum masalah iklim yang semakin sulit ditebak dan
harga pangan yang ketika panen tiba tak juga mensejahterakan. Kondisi ini semakin diperparah dengan
kepedulian generasi mudanya yang semakin memalingkan muka dari dunia pertanian.
Masalah pertanian sejatinya adalah
masalah persepsi. Karena nyatanya, persepsi hampir setiap orang pada pertanian
selalu tidak sama.
Pertanian di benak orang seakan menjadi dunia ketiga yang didalamnya hanya ada
cangkul, sawah, lumpur dan kerja para kuli. Padahal memandang pertanian sebaiknya harus dengan jeli, dan luas. Karena dalam pertanian,
sektor hulu sampai hilir selalu dilibatkan. Pertanian juga bukan hanya gabah, tetapi juga sayur-sayuran,
buah-buahan, daging, susu,
bahkan sampai cemilan dan makanan-makanan siap saji yang biasa kita makan. Selain itu pertanian juga membahas
tentang gizi, pengawetan,
pengemasan dan pemasaran serta bidang ilmu yang dapat di aplikasikan
dalam keseharian seperti ilmu sosiologi,
ekonomi, komunikasi dan pengembangan masyarakat.
Pertanian adalah soal hidup mati. Soal hidup mati ini, terasa sedih
rasanya ketika di kampus pertanian terbaik seantero negeri ini : Insitut
Pertanian Bogor (IPB), yang senantiasa memandang pertanian secara komperhensif dengan
lengkapnya jurusan-jurusannya
masih terdengar suara sumbang tentang pertanian dari mahasiswanya sendiri. Ada
yang bilang, mahasiswa IPB bisa di segala bidang, asalkan bukan pertanian.
Padahal IPB sebagai kampus dengan basic pertaniannya selayaknya
menjadi garda terdepan dalam membangun persepsi soal pertanian, terutama bagi
generasi muda bangsa ini. Bagaimana tidak, jumlah keseluruhan dari mahasiswa IPB sebanyak kurang
lebih 20.000 orang, dan
kebanyakan berasal dari daerah yang notabene lumbung petani.
Persepsi positif itu bisa dibangun
melalui integritas dosen-dosen dan alumninya terhadap pertanian, melalui
kegiatan-kegiatan mahasiswanya yang based
on pada pertanian, dan
melalui sistem pengajarannya yang menekankan arti penting pertanian, pada semua
jurusan, tak peduli itu jurusan-jurusan baru yang mungkin sedikit hubungannya
dengan pertanian. Karena kalau kita jeli, tujuan berdirinya IPB ini salah
satunya adalah untuk
memberikan kontribusi terhadap masalah pengadaan pangan rakyat, sebagaimana
penggalan kalimat awal diatas yang merupakan kalimat pidato Bapak
Presiden pertama kita Soekarno sebagai founding father, pertanian
soal hidup mati bangsa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar