Satu jam lagi waktunya berbuka puasa saat aku menatap jam hitam kecil yang
terdapat dipergelangan tangan kananku. Aku dan sepupuku masih asyik ngabuburit
di alun-alun Kutoarjo yang tak jauh dari rumah Budeku. Tempat ini biasa
dijadikan tempat anak muda nongkrong sambil menunggu waktu magrib tiba,
sehingga tempat ini begitu ramai dan tak ketinggalam juga para pedagang yang
tengah sibuk melayani pembeli.
Senja itu aku menemukan sosok yang belum aku kenal, dan tak
sengaja pula aku memandanginya penuh malu dan sedikit terkagum kepada seorang
ikhwan yang pada saat itu sedang melayani pembeli di bazar makanan untuk
persiapan berbuka. Sepupuku mengajakku pada bazar tersebut untuk membeli
makanan berbuka, menu ta’jil yang akan dipilih sepupuku adalah kolak pisang.
Akhirnya aku dan sepupuku pun megunjunginya.
“ Regine pinten Mas kolak pisangnya?” Aku sedikit
gugup ngomong bahasa Jawa maklum sudah lama menjadi orang Cilegon .
“ Tiga ribu saja,
Mbake,”
“ Tumbas pinten Mbake?” Masnya sambil senyum.
“ Dua atau tiga yah Mbak?” Tanya Rani.
“ Yowis tiga saja, Mbak Yayu nanti ke rumah to?”
“ Sippz,”
Saat membeli aku nerveous banget, sepertinya aku suka.
Sepuluh menit lagi adzan magrib akan berkumandang di udara, aku dan sepupuku
langsung pulang ke rumah dengan membawa kolak pisang.
***
Usai berbuka
puasa dengan kolak pisang, aku langsung bergegas solat Magrib berjamaah dengan
anaknya Bude. Setelah itu dilanjutkan lagi bercanda-canda di ruang TV. Pukul
tujuh kurang aku di ajak Budeku untuk bersiap-siap ke masjid melaksanakan isya
dan tarawih berjamaah.
Sesampai di masjid, aku bertemu dengan ikhwan yang tadi sore itu
di alun-alun. Ternyata ikhwan itu rumahnya tidak jauh dari rumah Budeku.
Akhirnya aku buru-buru masuk ke masjid supaya ikhwan tersebut tidak melihatku.
Aku malu banget rasanya. Sekitar satu jam lebih melaksanakan solat tarawih
dengan jumlah 23 rakaat ditambah dengan solat witir berjamaah, aku dan sepupuku
jalan menuju rumah. Tiba-tiba saja sepupuku Rani bilang dengan keras.
“Mbake liat deh itu Mas yang jual kolak pisang di Alun-alun tadi?”
“Ssst...jangan berisik Rani,”
“ Oppss..,”
Akhirnya ikhwan tersebut mendengarnya dan tersenyum kepada kita
berdua.
“ Afwan yo Mbak, Rani terlalu keras
ngomongnya, hehe,”
“ Ndak apa-apa,”
Tapi kalau diliat-liat Mas tadi sepertinya cocok deh sama Mbak,
hehe.” Rani mulai bercanda.
“ Huuss, ngawur kamu, main jodoh-jodohin aja,”
“ Abis Masnya ganteng, Mbaknya ayu. Hehe.”
Tak bisa dipungkiri dalam hatiku yang paling terdalam sebenarnya
akupun memendam rasa kagum saat pertama kali melihatnya, gumamnya.
“Ayo..ayo lagi ngomongin apa to?”
Mbak Yayu sudah ada di rumah Bude melihat kita pulang dari masjid selepas solat
taraweh sambil terkekeh”
Ini loh Mbak, tadi di masjid ada Mas ganteng.
“ Trus kenapa kok sampai heboh gitu?” Mbak Yayu penasaran.
“Udah-udah, nggak usah di bahas,” aku menimpalinya.
“ Emmh, Mbak Yayu ngertossekarang,
Nisa suka to?”
“ Hehe sedikit Mbak.” Sembari tersenyum Nisa.”
“ Banyak juga ndak apa toNis.”
Mbak Yayu mengecengiku.
Percakapan itu terhenti, saat Iman anaknya Mas Budi membawa mainan
kesukaannya dan mengajaku untuk meladeninya. Usai menemani Iman sekitar pukul
sepuluh aku langsung bergegas ke kamar, untuk beristrirahat, dan sebelum tidur
aku sempatkan membuka diary kecilku.
Green.
Secepat inikah perasaan yang aku alami, suka
padanya, padahal aku baru pertama kali bertemu dengannya. Dan tanpa sengaja aku
bertemu lagi di saat pulang tarawih tadi, dengan ikhwan tersebut, diapun
tersenyum. Apakah aku telah jatuh hati? Emmh. Biarkan waktu yang akan menjawab.
Malem Kutoarjo, 23 Ramadhan 2012
***
Puasa ke empat di bulan Ramadhan. Itu berarti aku
meninggalkan kota Kutoarjo. Berat rasanya untuk pulang, karena aku sudah
terlanjur betah di Jawa, batinku sambil berkaca-kaca dan memandangi tas
ranselku yang sudah rapih dengan oleh-oleh makanan. Padahal masuk kuliah masih
lama. Masih rindu. Mbak Yayu menguyarkan lamunanku, saat aku duduk di beranda
depan.
“Dooor, masih pagi sudah melamun.”
“ Mikirin apa to?
Mas yang semalem apa, hehe?”
“ Arghh, Mbak Yayu, tahu aja ni apa yang aku pikirin, Hihi”
“ Yowis ntar Mbak salamin kalau ketemu, “
“ Sok aja salamin, lagian juga Mbak ndak kenal to.”
“Ehhh jangan salah Mbak kenal dengan Kakaknya loh, ntar Mbak
sampein ke Kakaknya aja, biar Kakaknya tahu, adiknya ada yang naksir. Hihi”
“ Mbak aku bercanda, jangan di salamin dong,” Nisa ngambek. Apa
kata orang nanti, ada perempuan yang senang duluan, hikss.hikss. Lagi puasa nih
Mbak.” Mbak Yayu terus meledekku. Mbak Yayu berlalu dengan senyum ke arah dapur.
Aku membantu Bude sedang membuat gula merah. Budeku memang seorang
perempuan yang hebat kalau bahasa kerennya entrepreneur,
yang memiliki jiwa usaha. Ada rasa iri ingin punya usaha juga, batinku.
Sebenarnya dulu aku juga berwirausaha, dulu aku dan teman-teman pernah memiliki
usaha makanan sarapan pagi di sekitar kampus, namanya D-Fast. Usaha tersebut
alhamdulillah di danai DIKTI dalam program kreatifitas mahasiswa, sampai
mengantarkanku ke tingkat nasional untuk mengikuti PIMNAS (Pekan Ilmiah
Mahasiswa Nasional). Mengenang saat di kampus Untirta.
***
Malam taraweh ketiga aku masih di Kutoarjo. Tiba-tiba saja, ketika
aku menengok ke belakang, ternyata Mas itu ada di belakang aku dan Bude. Aku
sempat salting gitu. Disusul dengan Rani yang mendekati aku dan Bude. Dan Rani
basa-basi mengobrol dengan Mas ganteng sebelum memasuki masjid.
“ Mas wau sonten
mboten mande nggih?”
“ Nggih, mboten Rani,”
“ Loh Mas kok ngertos
maminipun kulo?”
Masnya hanya tersenyum.
“ Kenapa to Mas nggak jualan?”
“ Besok Mas mau pulang ke Depok,”
“ Masnya masih kuliah?”
“ Nggih,”
“Emhh, sama dong dengan Mbak Nissa,”
“ Wonten pundi?”
“Ui?”
“ Ohh.”
“ Masnya?”
“ Di Ui juga,”
“Wah jodoh, opss keceplosan, Rani.
“ Maaf yah Mas,” Masnya hanya tersenyum saja.
Green.
Baru tadi siang aku diantar Mbak Yayu beli tiket
untuk pulang ke Cilegon. Semoga saja lancar sampai rumah. Aamiin. Oh yah Green,
aku tadi bertemu ikhwan itu lagi, sebenarnya nggak tahu kenapa jadi pengen
ngobrol sama beliau, tadi aku mendengar percakapannya Rani dengan Mas itu.
Beliau ternyata masih kuliah juga, di UI Depok. Tapi aku ndak tahu apa jurusan
Mas tersebut. Hmm.
Malam Kuatoarjo, 24 Ramadhan 2012
***
Sebelum pulang
aku di ajak Bude ke Pasar Kutoarjo, menemani Bude berjualan, nggak biasanya di
pasar sepi. Apa mungkin karena bulan Ramadhan? Tapi Budeku tetap bersemangat
berjualan. Alhamdulillah aku menemani Budeku jualan di pasar ini, mengisi waktu
liburan di Jawa. Saat aku merapihkan meja dagangan Bude, aku mendengar suara
ikhwan itu, Rani menyebutnya Mas ganteng. Ikhwan itu sudah ada di depanku
nampak sibuk membeli makanan cemilan, dan ditemani Kakaknya.
“ Tumbas nopo,
Mas Rama?”
“Ohh namanya Rama, aku baru tahu, gumamku”
“Tumbas oleh-oleh untuk di bawa ke Jakarta Bude,” Kakaknya
menimpalinya.
“ Kapan pulang?” Tanya Bude.
“ Nanti sore Bude,”
“ Oalah sama dengan Nisa,”
Aku hanya mendengarkan Bude dan Ikhwan itu ngobrol.
Usai ashar, teng pukul empat sore terlihat di dinding
tembok rumah, aku diantar Mas Budi dan Rani ke Terminal Bus. Dan saat aku
membawa tas besar ada yang memanggilku dari belakang, aku pun menengok ke
sumber suara, ternyata ikhwan itu yang manggil.
“ Yah, ada apa Mas?”
“ Naik bis ini juga?”
“ Ya, wah bareng dong,”
Aku balas senyum. Entah mengapa jantungku jadi berdetak keras saat
ia mulai berbicara denganku. Obrolan itu semakin mengalir hingga menemani
perjalananku menuju pulang kota Cilegon. Ya Allah mohon lindungi perjalananku
ini semoga hatiku tetap terjaga walaupun ada rasa terhadapnya, doaku saat
berada di dalam bus yang menghantarkan kami semua pulang dengan bus jurusan
Jogja-Merak.